Untuk menjadi wartawan perang, tidak mudah seperti halnya era teknologi. Ada dana sendiri perlengkapan secukupnya, naik pesat dan turun kemudian ke lapangan. Namun di era tahu 60 an, lain lagi wartawan dipilih kemudian mendapat didikan khusus di kemiliteran.
Di Kota Bandung hanya ada 4 orang. Terpilih dan dianggap memenuhi syarat dari berbagai hal termasuk fisik juga keberanian dan abdi Negara. Mereka adalah Hanxah Ibrahim (Harian Karya), Krisna Harahap (Harian Banteng), Amir Zainun “Pikiran Rakyat” dan Arifin Azman (Warta Bandung).
Keberanian para wartawan ini, bukan saja masih muda dan enerjik namun juga kecintaannya kepada negara ini. Masalahnya saat itu tahun 1964 sebelum meletus G 30 S PKI dan saat itu sedang konfrontasi dengan negara tetangga, atau lebih dikenal jaman itu sebutan Operasi Dwikora. Bisa dibayangkan kondisi Negara kita saat itu, pesawatpun yang paling baik adalah herkules, sedangkan Negara tetangga mendapat bantuan dari Negara yang lebih maju teknologinya. Namun karena kecintaan dan keberanian, tetap maju terus.
Padahal ke empat wartawan yang sudah mendapat pendidikan kemiliteran sesuai dengan bidang jurnalistik di tempat pelatihan prajurit di Batujajar itu, sudah mengetahui bahwa ke empat wartawan yang sudah terlatih dan mengantongi Wing terjun di medan perang itu disayembarakan untuk ditangkap pihak musuh.
Bahkan pihak Malaysia mengumumkan, bahwa siapa saja yang dapat menangkap para wartawan akan mendapat hadiah sebanyak 1.000 (seribu ringgit) tahun 1964 mungkin sangat berharga sekali.
Bagi para wartawan ini bernyali besar tetap akan terjun maupun dalam situasi apapun, akhirnya wartawan Hamzah Ibrahim bersama Arifin Zasman disertai 150 orang anggota pasukan PGT (Pasukan Gerak Cepat) sekarang kopaskhas, naik pesawat Hercules dari satu tempat yang sangat dirahasiakan.
Sedangkan wartawan lainnya yakni Krisna Harahap dan wartawan Amir Zainun, telah siap dan berada di Pulau Sintang, mereka berdua menunggu rekannya yang sudah berada di awang awang untuk terjun di daerah Serawak.
Rupanya keberadaan pesawat yang mengangkut pasukan gerak cepat termasuk dua orang wartawan Bandung itu, telah diendus pihak musuh, sebagaimana keberadaan ke empat wartawan yang akan diterjunkan telah diketahui pihak musuh. Entah bagaimana caranya mereka mampu mengendus kegiatan pihak pasukan dan wartawan.
Giliran pesawat yang membawa pasukan dan wartawan sudah terbang merendah di atas Serawak, tiba tiba muncul pesawat pemburu Inggris dan melakukan pengejaran, namun pesawat pemburu tak bisa melakukan pengejaran karena pesawat yang ditumpangi sudah masuk wilayah RI kawasan Medan, Hercules AURI yang terus terbang itu tak bisa membatalkan penerjunan, sehingga pesawat harus memutar arah dan menuju kawasan pulau bali, hal itu kemungkinan cara pilot dan pimpinan lain mempunyai rencana lain sekaligus memastikan bahwa pesawat pemburu masih mengikuti apa tidak.
Untuk kedua kalinya pesawat menuju Serawak, dan ketika berada di atas serawak tiba tiba turun hujan lebat menyebabkan 150 pasukan dan wartawan tidak bisa diterjunkan, kendati tidak ada lagi pesawat pemburu. Namun demikian mereka bisa bertugas di daerah perbatasan bersama prajurit lain dan dua wartawan yang terlebih dahulu berada di kawasan itu yakni Krisna Harap dan Amir Zainun. (Dari berbagai sumber/buku melacak sejarah PWI Cab Jabar HUT ke 35 PWI/Sonnihadi)
Keterangan gambar: foto paling atas H Hamzah Ibrahim lama menjadi wartawan HU Mandala dan masih menekuni jurnalis di Bandung sebagai wartawan senior. Gambar selanjutnya Pro.DR H Krisna Harahap SH, MH pemilik HU Mandala. Keempat wartawan perang tersebut adalah anggota PWI Cab Jawa Barat.
Bagian dari sejarah yang sering terlupakan. Artikel seperti ini akan sangat berguna bagi generasi yang akan datang.
BalasHapusTerimakasih, pelaku sejarahnya seorang telah wafat yaitu Amir Zainun. Putranya masih jurnalis di koran Pikiran Rakyat. Hamzah Ibrahin putranya juga jurnalis hanya Prof Krisna Harahap tidak ada anak anaknya yang mengikuti ayahnya. Prof Krisna kini bertugas di MA.
Hapus